SERTIFIKASI HALAL

KEBIJAKAN HALAL & PROSES SERTIFIKASI HALAL

DASAR HUKUM HALAL & HARAM ; SYARIAT ISLAM

  • Perintah Allah SWT untuk menjauhi diri dari maksiat dan sebagai ciri muslim (QS 2:168 & QS 2:171)
  • Setiap muslim wajib mengkonsumsi halal
  • Perlu adanya jaminan kehalalan

LATAR BELAKANG

  • Populasi Muslim Dunia, +/- 1,9 Miliar Orang (Survey Pew Research Report, 2020).
  • Populasi Muslim Indonesia adalah 87,2% Populasi Muslim Dunia (muslim population, 2020).
  • Permintaan produk Islam sangat besar.
  • Trend wisata halal sudah mulai mendunia.
  • Halal Menjadi Issue yang sangat sensitif.

REGULASI HALAL

  • Undang Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) ; kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal (SH).
  • Pasal 4 UU 33 / 2014 tentang JPH menyebutkan “Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”

TUJUAN HALAL

  • Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan Produk.
  • Memberikan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Pasal 3 UU 33 / 2014.

SERTIFIKAT HALAL 

  • Pengakuan kehalalan suatu produk yang di terbitkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan fatwah halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI dengan masa berlaku sepanjang tidak ada perubahan komposisi bahan/proses produk halal. Pasal 42(1) YY No. 6 Tahun 2023.

KOLABORASI 3 LEMBAGA PELAKSANAAN SERTIFIKASI HALAL

  • BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) Kementrian Agama Republik Indonesia 
    • Sebagai Regulator, Administrator, Leading Sector JPH.
    • Pendaftaran / Pengajuan dan Penerbitan Sertifikat Halal (SH) setelah mendapatkan Ketetapan Halal (KH) dari MUI melalui sidang fatwa
  • LPH (Lembaga Pemeriksa Halal)
    • Pemeriksaan dan atau pengujian produk, dilakukan oleh auditor halal. Yang Diajukan dan gunakan sebagai data yang dipertimbangakan dalam sidang fatwa oleh MUI
  • MUI (Majelis Ulama Indonesia)
    • Yang menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa.

PRODUK HALAL

  •  Adalah barang dan atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

           

PRODUK NON – HALAL

  • Produk yang diproduksi / dihasilkan dari bahan yang diharamkan, tidak diwajibkan mengajukan permohonan Sertifikat Halal. namun WAJIB mencantumkan keterangan tidak halal pada produk tersebut dengan menjelaskan jenis bahan yang diharamkan.

SANKSI ADMINISTRATIF

Jika Pelaku Usaha tidak menerapkan SJPH, tidak memperpanjang sertifika halal, tidak melaporkan perubahan komposisi bahan baku, menggunakan bahan dari luar negeri yang tidak sesuai atiran JPH, tidak mencantumkan label halal, tidak mencantumkan keterangan tidak halal, dan lainnya dapat menyebabkan dikenakan sanksi administratif sesuai PP 39 Thn 2021 pasal 149 & 150, berupa :

  • Peringatan Tertulis.
  • Denda Administratif (max. 2 Miliar IDR)
  • Pencabutan Sertifikat Halal.
  • Penarikan Barang Dari Peredaran..

 

KONSEP HALAL & HARAM

 





PRODUK HALAL SECARA SUBSTANSI ; Produk yang diproduksi dari bahan yang halal difasilitasi yang tidak terkontaminasi bahan haram/najis.


DEFINISI BARANG GUNAAN

  • Barang Gunaan yang dikenakan wajib sertifikasi halal tahun 2026 adalah seluruh jenis barang yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat yang berasal dari hewan dan atau mengandung unsur hewan.


 

FATWA MUI

FATWA MUI , PENGGUNAAN MIKROBA & PRODUK MIKROBIAL DALAM PRODUK PANGAN.

Ketentuan Umum :

  1. Mikroba adalah organisme mikroskopik yang berukuran sekitar seperseribu milimeter (1 mikrometer) dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan alat bantu mikroskop.
  2. Produk mikrobial adalah produk yang diperoleh dengan bantuan mikroba yang dapat berupa sel mikroba itu sendiri atau berupa hasil metabolisme mikroba, antara lain berupa protein, vitamin, asam organik, pelarut organik, dan asam amino

Ketentuan Hukum :

  1. Mikroba pada dasarnya halal selama tidak membahayakan dan tidak terkena barang najis.
  2. Mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang suci hukumnya halal.
  3. Mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang najis, apabila dapat dipisahkan antara mikroba dan medianya maka hukumnya halal setelah disucikan.
  4. Produk mikrobial dari mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang suci hukumnya halal
  5. Produk mikrobial dari mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang najis, apabila dapat dipisahkan antara mikroba dan medianya maka hukumnya halal setelah disucikan.
  6. Mikroba dan produk mikrobial dari mikroba yang memanfaatkan unsur babi sebagai media pertumbuhan hukumnya haram.
  7. Mikroba dan produk mikrobial dari mikroba yang tumbuh pada media pertumbuhan yang terkena najis kemudian disucikan secara syar’i (tathhir syar’an), yakni melalui produksi dengan komponen air mutlaq minimal dua
    qullah [setara dengan 270 liter] hukumnya halal 

FATWA MUI, BAHAN DARI TUBUH MANUSIA

  • Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia (juz’ul-insan) hukumnya adalah haram.
  • Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan hukumnya adalah haram.
  • Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram.

 وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.”

(QS. al-Isra’ [17]: 70)


FATWA MUI, CARA PENSUCIAN EKSTRAK RAGI (YEAST EXTRACT) DARI SISA PENGOLAHAN BIR (BREWER YEAST)

Ketentuan Umum :

  1. Ekstrak Ragi ialah produk yang berupa isi sel ragi yang diproses dengan cara memecahkan dinding sel ragi  sehingga isi sel ragi terekstrak keluar kemudian dinding selnya dipisahkan. isi sel regi dimanfaatkan untuk berbagai produk pangan dan suplemen setelah melalui beberapa tahapan proses.
  2. Ragi sisa pengolahan bir ialah ragi yang dipisahkan dari cairan bir dengan cara penyaringan dan sentrifugasi.

Ketentuan Hukum :

  1. Ekstrak ragu dari sisa pengolahan bir hukumnya mutanajjis (barang yang terkena najis) yang menjadi suci setelah dilakukan pencucian secara syar’i (tathhir syar’an)
  2. pensucian secara syar’i sebagaimana dimaksud point 1 adalah dengan salah satu cara berikut :
    1. Mengucuri dengan air hingga hilang rasa, bau dan warna birnya.
    2. Mencuci di dalam air yang banyak hingga hilang rasam bau dan warna birnya.
  3. Apabila telah dilakukan pencucian sebagaimana point nomor 2 secara maksimal, akan tetapi salah satu dari bau, warna birnya tetap ada karena sulit dihilangkan maka hukumnya suci dan halal dikonsumsi.

FATWA MUI No.11/2009, HUKUM ALKOHOL

Ketentuan Umum :

  1. Khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur atau yang lainnya, baik dimasak atau tidak.
  2. Alkohol adalah istilah yang umum untuk senyawa organik apapun yang memiliki gugus fungsional yang disebut gugus hidroksil (-OH) yang terikat oada atom karbon. Rumus umum senyawa alkohol tersebut adalah R-OH atau Ar-OH dimana R adalah gugus alkil dan Ar adalah gugus aril.
  3. Minuman berakohol adalah :
    1. Minuman yang mengandung etanol dan senyawa lain diantaranya metanol, asetaldehida dan etilasetat yang dibuat secara fermentasi dengan rekayasa dari berbagai jenis bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat; atau
    2. Minuman yang mengandung etanol dan atau metanol yang ditambahkan dengan sengaja.

Ketentuan Hukum :

  1. Meminum minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum, hukumnya haram.
  2. Khamr sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah najis.
  3. Alkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum yang berasal dari khamr adalah najis. Sedangkan alkohol yang tidak berasal dari khamr adalah tidak najis.
  4. Minuman beralkohol adalah najis jika alkohol/etanolnya berasal dari khamr, dan minuman beralkohol adalah tidak najis jika alkohol/ethanolnya berasal dari bukan khamr.
  5. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri khamr untuk produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya haram.
  6. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya: mubah, apabila secara medis tidak membahayakan.
  7. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan, hukumnya: haram, apabila secara medis membahayakan.

FATWA MUI NO. 10/2018, MAKANAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ALKOHOL.

Ketentuan Hukum :

  1. Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) minimal 0.5 %.
  2. Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram, sedikit ataupun banyak.
  3. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk bahan produk makanan hukumnya mubah, apabila secara medis tidak membahayakan.
  4. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk bahan produk minuman hukumnya mubah, apabila secara medis tidak membahayakan dan selama kadar alkohol/etanol (C2H5OH) pada produk akhir kurang dari 0.5%.
  5. Penggunaan produk-antara (intermediate product) yang tidak dikonsumsi langsung seperti flavour yang mengandung alkohol/etanol non khamr untuk bahan produk makanan hukumnya mubah, apabila secara medis tidak membahayakan.
  6. Penggunaan produk-antara (intermediate product) yang tidak dikonsumsi langsung seperti flavour yang mengandung alkohol/etanol non khamr untuk bahan produk minuman hukumnya mubah, apabila secara medis tidak membahayakan dan selama kadar alkohol/etanol (C2H5OH) pada produk akhir kurang dari 0.5%

Ketentuan Terkait Produk Minuman Yang Mengandung Alkohol :

  1. Produk minuman yang mengandung khamr hukumnya haram.
  2. Produk minuman hasil fermentasi yang mengandung alkohol/etanol minimal 0.5%, hukumnya haram.
  3. Produk minuman hasil fermentasi yang mengandung alkohol/etanol kurang dari 0.5% hukumnya halal jika secara medis tidak membahayakan.
  4. Produk minuman non fermentasi yang mengandung alkohol/etanol kurang dari 0.5% yang bukan berasal dari khamr hukumnya halal, apabila secara medis tidak membahayakan, seperti minuman ringan yang ditambahkan flavour yang mengandung alkohol/etanol.

Ketentuan Terkait Produk Makanan yang Mengandung Alkohol/Etanol :

  1. Produk makanan hasil fermentasi yang mengandung alkohol/etanol hukumnya halal, selama dalam prosesnya tidak menggunakan bahan haram dan apabila secara medis tidak membahayakan.
  2. Produk makanan hasil fermentasi dengan penambahan alkohol/etanol menggunakan bahan haram dan apabila secara medis non khamr hukumnya halal, selama dalam prosesnya tidak tidak membahayakan.
  3. Vinegar/cuka yang berasal dari khamr baik terjadi dengan sendirinya maupun melalui rekayasa, hukumnya halal dan suci.
  4. Produk makanan hasil fermentasi susu berbentuk pasta/padat yang mengandung alkohol/etanol adalah halal, selama dalam prosesnya tidak menggunakan bahan haram dan apabila secara medis tidak membahayakan.
  5. Produk makanan yang ditambahkan khamr adalah haram.

FATWA MUI No.11/2018, PRODUK KOSMETIKA YANG MENGANDUNG ALKOHOL/ETANOL

Ketentuan Umum :

  1. Khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur atau yang lainnya, baik dimasak ataupun tidak.
  2. Alkohol adalah etil alkohol atau etanol, suatu senyawa kimia dengan rumus (C2H5OH).
  3. Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk membersihkan, menjaga, meningkatkan penampilan,mengubah penampilan, digunakan dengan cara mengoles,menempel, memercik, atau menyemprot.

Ketentuan Hukum :

  1. Produk kosmetika yang mengandung khamr adalah najis, dan penggunaannya hukumnya haram.
  2. Penggunaan alkohol/etanol pada produk kosmetika tidak dibatasi kadarnya, selama etanol yang digunakan bukan berasal dari industri khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr)dan secara medis tidak membahayakan.

FATWA MUI NO.40/2018, PENGGUNAAN ALKOHOL/ETANOL UNTUK BAHAN OBAT

Ketentuan Hukum :

  1. Pada dasarnya berobat wajib menggunakan metode yang tidak melanggar syariat, dan obat yang digunakan wajib menggunakan obat yang suci dan halal.
  2. Obat-obatan cair berbeda dengan minuman. Obatan-obatan digunakan untuk pengobatan sedangkan minuman digunakan untuk konsumsi. Dengan demikian, ketetuan hukumnya berbeda dengan minuman.
  3. Obat-obatan cair atau non cair yang berasal dari khamr hukumnya Haram.
  4. Penggunaan alkohol/etanol yang bukan berasal dari industri khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk bahan obat-obatan cair ataupun non cair hukumnya boleh dengan syarat:
    a. Tidak membahayakan bagi kesehatan.
    b. Tidak ada penyalahgunaan.
    c. Aman dan sesuai dosis.
    d. Tidak digunakan secara sengaja untuk membuat mabuk.

FATWA MUI, KEPITING

  1. Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.
  2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana mestinya.

FATWA MUI, MAKANAN & BUDIDAYA CACING & JANGKRIK

Hukum yang berkaitan dengan cacing :

  1. Cacing adalah salah satu jenis hewan yang masuk kedalam kategori alhasyarãt.
  2. Membenarkan adanya pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan
    al-Auz’i) yang menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat
    dan tidak membahayakan; dan pendapat ulama yang mengharamkan
    memakannya.
  3. Membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan hukum Islam.
  4. Membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak untuk dimakan atau dijual, hukumnya boleh (mubah).

Hukum yang berkaitan dengan jangkrik :

  1. Jangkrik adalah binatang serangga yang sejenis dengan belalang.
  2. Membudidayakan jangkrik untuk diambil manfaatnya, untuk obat/kosmetik misalnya, untuk dimakan atau dijual, hukumnya adalah boleh (mubah, halal), sepanjang tidak menimbulkan bahaya (mudarat)

FATWA MUI, MENGKONSUMSI BEKICOT

Ketentuan Hukum :

  1. Bekicot merupakan salah satu jenis hewan yang masuk kategori hasyarat.
  2. Hukum memakan hasyarat adalah haram menurut jumhur Ulama (Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah), sedangkan Imam Malik menyatakan kehalalannya jika ada manfaat dan tidak membahayakan.
  3. Hukum memakan bekicot adalah haram, demikian juga membudidayakan dan memanfatkannya untuk kepentingan konsumsi.

FATWA MUI, PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

Ketentuan Hukum :

  1. Bekicot merupakan salah satu jenis hewan yang suci.
  2. Pemanfaatan bekicot untuk kepentingan non-pangan seperti untuk obat dan kosmetika luar, hukumnya mubah, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.

FATWA MUI, HUKUM HEWAN TERNAK YANG DIBERI PAKAN DARI BARANG NAJIS.

Ketentuan Umum :

  • Jallalah adalah hewan ternak pemakan barang najis atau pakan dari bahan
    yang najis, baik sedikit maupun banyak.

Ketentuan Hukum :

  1. Hewan ternak yang diberikan pakan barang atau unsur bahan baku yang najis tetapi kadarnya sedikit atau tidak lebih banyak dari bahan baku yang suci, maka hewan tersebut hukumnya halal dikonsumsi, baik daging maupun susunya.
  2. Hewan ternak sebagaimana dalam poin 1 yang diberikan pakan dari hasil rekayasa unsur produk haram dan tidak menimbulkan dampak perubahan bau, rasa, serta tidak membahayakan bagi konsumennya maka hukumnya halal. Namun apabila menimbulkan dampak perubahan bau, rasa, serta membahayakan bagi konsumennya maka hukumnya haram.
  3. Produk pakan ternak yang dicampur dengan babi dan turunannya atau hewan najis lain maka hukumnya haram dan tidak boleh diperjualbelikan

FATWA MUI, KOPI LUWAK

Ketentuan Umum :

  • Kopi Luwak adalah kopi yang berasal dari biji kopi yang telah dipilih dan
    dimakan oleh luwak (paradoxorus hermaproditus) kemudian keluar bersama kotorannya dengan syarat:
    a. biji kopi masih utuh terbungkus kulit tanduk.
    b. dapat tumbuh jika ditanam kembali.

Ketentuan Hukum :

  1. Kopi luwak sebagaimana dimaksud mutanajjis (barang terkena najis).
  2. Kopi luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah halal
    setelah disucikan.
  3. Mengonsumsi kopi luwak sebagaimana dimaksud angka 2 hukumnya boleh.
  4. Memproduksi dan memperjualbelikan kopi luwak hukumnya boleh.

FATWA MUI, SARANG BURUNG WALET

Ketentuan Umum :

  • Sarang burung walet adalah sarang yang dibuat oleh burung walet, berasal dari zat yang tersimpan di tembolok burung yang bercampur dengan zat yang berasal dari kelenjar ludah (air liur) yang telah mengering.

Ketentuan Hukum :

  1. Sarang burung walet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah suci dan halal.
  2. Dalam hal sarang burung walet bercampur dengan atau terkena barang najis (seperti kotorannya), harus disucikan secara syar’i (tathhir syar’i) sebelum dikonsumsi, yang tata caranya merujuk pada Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2010.
  3. Pembudidayaan sarang burung walet hukumnya boleh.

FATWA MUI, PENGGUNAAN BULU, RAMBUT & TANDUK DARI HEWAN HALAL YANG TIDAK DISEMBELIH SECARA SYARI’I UNTUK BAHAN PANGAN, OBAT-OBATAM DAN KOSMETIKA

Ketentuan Umum 

  • Hewan Halal adalah jenis hewan yang dagingnya boleh dimakan (ma’kul allahm) dengan syarat terpenuhi ketentuan syar’i, seperti disembelih secara syar’i.
  • Bangkai hewan adalah hewan yang mati dengan tanpa disembelih atau yang disembelih dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan syar’i.

Ketentuan Hukum

  1. Bulu, rambut dan seluruh bagian dari anggota tubuh manusia adalah suci, tetapi haram dimanfaatkan untuk kepentingan pangan, obat-obatan dan kosmetika.
  2. Bulu, rambut dan tanduk dari hewan halal (ma’kul al-lahm) yang disembelih secara syar’i hukumnya halal untuk kepentingan pangan, obat-obatan dan kosmetika.
  3. Kulit dari bangkai hewan halal setelah dilakukan penyamakan, statusnya suci dan boleh dimanfaatkan untuk barang gunaan non pangan, termasuk untuk obat luar dan kosmetika luar.
  4. Bulu, rambut dan tanduk dari bangkai hewan halal, termasuk yang tidak disembelih secara syar’i statusnya suci dan boleh dimanfaatkan untuk barang gunaan non pangan, termasuk untuk obat luar dan kosmetika luar, tetapi haram untuk dikonsumsi, termasuk untuk bahan pangan.

FATWA MUI, PENGGUNAAN PLASENTA HEWAN HALAL UNTUK BAHAN OBAT

Ketentuan Umum ;

  • Plasenta atau tembuni atau ari-ari adalah suatu organ yang terbentuk pada masa kehamilan/kebuntingan yang menghubungkan janin ke dinding rahim induk melalui pembuluh darah untuk mendapatkan nutrisi, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme serta pertukaran gas.
  • Masyimah ada dua jenis;
    • pertama, yang dipotong dari janin, merupakan bagian dari janin.
    • Kedua, tempat janin berada, bukan bagian dari induk dan bukan pula bagian dari janin.
  • Bangkai hewan adalah hewan yang mati tanpa disembelih atau yang disembelih dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan syar’i.

Ketentuan Hukum

  1. Penggunaan plasenta dari hewan halal (ma’kul al-lahm) yang disembelih secara syar’i untuk kepentingan konsumtif hukumnya boleh.
  2. Penggunaan plasenta dari hewan halal (ma’kul al-lahm), yang bukan bagian dari induk dan bukan pula bagian dari janin untuk bahan obat hukumnya boleh sepanjang tidak membahayakan.
  3. Penggunaan plasenta yang berasal dari bangkai hewan halal, termasuk yang tidak disembelih secara syar’i, untuk bahan obat hukumnya haram

FATWA MUI, PEWARNA MAKANAN & MINUMAN DARI SERANGGA COCHINEAL

Ketentuan Umum:

  • Serangga cochineal yaitu serangga yang hidup di atas kaktus dan makan pada kelembaban dan nutrisi tanaman.
  • Serangga cochineal merupakan binatang yang mempunyai banyak persamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir.

Ketentuan Hukum :

  1. Pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga Cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.

FATWA MUI, PENGGUNAAN SHELLAC SEBAGAI BAHAN PANGAN, OBAT-OBATAN & KOSMETIKA

Ketentuan Umum:

  1. Shellac (Lak) termasuk dalam kelompok resin yang diperoleh dari hasil sekresi insekta Laccifer lacca Kerr (kutu Lak) yang hidup pada tanaman inangnya. Sekresi lak dihasilkan dari kelenjar hypodermis yang mengelilingi tubuh kutu Lak dan berfungsi sebagai pelindung alami dari ancaman musuh dan lingkungan.
  2. Kutu Lak adalah jenis serangga yang memiliki habitat sepanjang hidupnya pada tanaman dan hanya makan dari tanaman, berbentuk kecil, makan dan bereproduksi pada berbagai jenis tanaman, di antaranya tanaman kesambi, plosa, jamuju, kaliandra, dan akasia; makan menggunakan alat mulutnya berupa stilet, yaitu rambut halus yang ditusukkan dan digunakan sebagai alat penghisap jaringan tanaman di tempat kutu ini hidup.

Ketentuan Hukum :

  1. Shellac sebagaimana disebutkan dalam ketentuan umum adalah suci.
  2. Penggunaan shellac sebagai bahan tambahan atau bahan penolong dalam produk pangan, obat-obatan dan kosmetika hukumnya halal, selama bermanfaat dan tidak membahayakan.

FATWA MUI, MENGKONSUMSI DAGING KANGURU

Ketentuan Umum :

  1. Yang dimaksud kanguru dalam fatwa ini ialah binatang meyusui (mamalia),
    berkantung (marsupialia), dan memiliki dua kaki belakang lebih panjang dari dua kaki depan.
  2. Kanguru sebagaimana di atas merupakan binatang:
    a. pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora).
    b. tidak termasuk binatang buas.

Ketentuan Hukum :

  1. Kanguru sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan umum merupakan hewan yang halal untuk dikonsumsi (ma’kul al-lahmi).
  2. Kanguru sebagaimana dimaksud pada angka 1 hukumnya halal setelah dilakukan penyembelihan secara syar’i.
  3. Kanguru di daerah yang ditetapkan sebagai satwa langka, wajib dilindung.

FATWA MUI, PRODUK YANG DIHASILKAN LEBAH

Ketentuan Umum

  1. Propolis (lem lebah) ialah produk tumbuhan tertentu yang diambil oleh lebah pekerja melalui mulutnya, lalu disimpan sementara di kakinya, kemudian dipergunakan untuk menambal sarangnya.
  2. Bee pollen (roti lebah) ialah serbuk sari bunga jantan yang diambil oleh lebah pekerja dan digunakan sebagai makanan pokok dari seluruh koloni madu lebah.
  3. Royal jelly (susu lebah) ialah cairan putih yang mempunyai penampilan seperti susu yang dihasilkan kelenjar hypopharyngeal lebah pekerja untuk digunakan sebagai makanan ratu lebah dan larva lebah.
  4. Bees Wax (lilin lebah) ialah lilin alami yang dihasilkan dari kelenjar lilin yang terdapat pada bagian bawah perut lebah pekerja.
  5. Apitoxin (racun lebah) ialah racun yang dihasilkan dari kelenjar racun lebah pekerja pada saat menyengat, dalam bentuk cairan bening dengan bau tajam, rasanya pahit dan pedas, aromanya spesifik serta cepat kering.
  6. Sarang Lebah (Comb) adalah struktur yang digunakan oleh lebah sebagai tempat tinggal dan membesarkan anak-anaknya. Bagian dalam dari sarang lebah berupa kumpulan struktur berbentuk heksagonal yang terbuat dari semacam lilin.

Ketentuan Hukum :

  1. Propolis (lem lebah), bee pollen (roti lebah), royal jelly (susu lebah), dan bees wax (lilin lebah), dan comb (sarang lebah) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah suci dan halal.
  2. Mengonsumsi propolis (lem lebah), bee pollen (roti lebah), royal jelly (susu
    lebah), bees wax (lilin lebah), dan comb (sarang lebah), sebagaimana
    ketentuan nomor satu hukumnya boleh.
  3. Apitoxin (racun lebah) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah suci dan boleh dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, selagi
    tidak membahayakan.
  4. Memproduksi dan memperjual-belikan propolis (lem lebah), bee pollen (roti
    lebah), royal jelly (susu lebah), bees wax (lilin lebah), comb (sarang lebah),
    dan apitoxin (racun lebah) hukumnya boleh.

FATWA MUI, OBAT DAN PENGOBATAN

Ketentuan Hukum:

  1. Islam mensyariatkan pengobatan karena ia bagian dari perlindungan dan perawatan kesehatan yang merupakan bagian dari menjaga Al-Dharuriyat AlKham.
  2. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan wajib menggunakan metode pengobatan yang tidak melanggar syariat.
  3. Obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan yang suci dan halal.
  4. Penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-obatan hukumnya haram.
  5. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan hukumnya haram kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
    1. digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia, atau kondisi keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat (al-hajat allati tanzilu manzilah al-dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan yang apabila tidak dilakukan maka akan dapat mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari;
    2. belum ditemukan bahan yang halal dan suci; dan
    3. adanya rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada obat yang halal.
  6. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar hukumnya boleh dengan syarat dilakukan pensucian.

FATWA MUI, PENGGUNAAN PLASMA DARAH UNTUK BAHAN OBAT.

Ketentuan Umum :

  1. Darah adalah suatu tipe jaringan ikat yang memiliki sel tersuspensi (tidak terpisah) dalam suatu cairan intra seluler, berfungsi untuk tranportasi, proteksi, dan regulasi. Darah terdiri dari dua komponen utama yaitu cairan (plasma) dan sel-sel darah.
  2. Plasma darah adalah komponen darah berbentuk cairan berwarna kuning, di mana sel-sel darah, nutrisi dan hormon mengapung. Plasma darah dipisahkan dari darah melalui suatu proses sentrifugasi (pemutaran kecepatan tinggi) sampel darah segar, dimana sel-sel darah menetap di bagian bawah karena lebih berat, sedangkan plasma darah di lapisan atas. Plasma merupakan unsur darah, dan bagian tersendiri dari darah yang sifat-sifatnya; warna, bau dan rasa berbeda dengan darah.

KetentuanHukum :

  1. Pada dasarnya darah adalah najis, karenanya haram dipergunakan sebagai bahan obat dan produk lainnya.
  2. Plasma darah sebagai mana yang dimaksud pada poin dua di ketentuan umum di atas hukumnya suci dan boleh dimanfaatkan dengan ketentuan:
    1. hanya untuk bahan obat;
    2. tidak berasal dari darah manusia;
    3. berasal dari darah hewan halal.

FATWA MUI, IMUNISASI

Ketentuan Umum

  1. Imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin.
  2. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup tetapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lain, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
  3. Al-Dharurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia.
  4. Al-Hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang

Ketentuan Hukum:

  1. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk
    mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
  2. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.
  3. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram.
  4. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali:
    1. digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat;
    2. belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan
    3. adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
  5. Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian,penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
  6. Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang
    kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).

FATWA MUI, REKAYASA GENETIKA DAN PRODUKNYA

Ketentuan Umum

  1. Gen atau DNA (Deoxyribose Nucleac Acid) adalah Substansi pembawa sifat menurun dari sel ke sel, dan generasi ke generasi, yang terletak di dalam kromosom, yang memiliki sifat antara lain sebagai materi tersendiri yang terdapat dalam kromosom, mengandung informasi genetika, dapat menentukan sifat-sifat dari suatu individu, dan dapat menduplikasi diri pada peristiwa pembelahan sel.
  2. Rekayasa Genetika adalah penerapan genetika untuk kepentingan manusia, yakni penerapan teknik-teknik biologi molekular untuk mengubah susunan genetik dalam kromosom atau mengubah sistem ekspresi genetik yang diarahkan pada kemanfaatan tertentu, yang obyeknya mencakup hampir semua golongan organisme, mulai dari bakteri, fungi, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi, hingga tumbuh-tumbuhan.

Ketentuan Hukum

 

  1. Melakukan rekayasa genetika terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan dan mikroba (jasad renik) adalah mubah (boleh), dengan syarat :
    1. dilakukan untuk kemaslahatan (bermanfaat);
    2. tidak membahayakan (tidak menimbulkan mudharat), baik pada manusia maupun lingkungan; dan
    3. tidak menggunakan gen atau bagian lain yang berasal dari tubuh manusia.
  2. Tumbuh-tumbuhan hasil rekayasa genetika adalah halal dan boleh digunakan, dengan syarat :
    1. bermanfaat; dan
    2. tidak membahayakan
  3. Hewan hasil rekayasa genetika adalah halal, dengan syarat :
    1. Hewannya termasuk dalam kategori ma’kul al-lahm (jenis hewan yang dagingnya halal dikonsumsi)
    2. bermanfaat; dan
    3. tidak membahayakan
  4. Produk hasil rekayasa genetika pada produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika adalah halal dengan syarat :
    1. bermanfaat
    2. tidak membahayakan; dan
    3. sumber asal gen pada produk rekayasa genetika bukan berasal dari yang haram.

FATWA MUI, PENGGUNAAN PARTIKEL EMAS DALAM PRODUK KOSMETIK BAGI LAKI LAKI.

Ketentuan Umum :

  1. Partikel emas adalah bagian terkecil dari emas.
  2. Partikel emas berasal dari garam emas (yang biasa ditemukan di alam), kemudian direduksi sehingga didapatkan partikel emas murni (Au). Partikel emasi ini kemudian diproses lanjut sehingga dihasilkan partikel emas dalam ukuran yang sangat kecil (nano partikel). Partikel emas ini kemudian dilarutkan dalam bahan cair. Larutan yang berisi partikel emas ini kemudian digunakan sebagai bahan kosmetik.

Ketentuan Hukum :

  1. Penggunaan kosmetika yang mengandung bahan partikel emas bagi laki-laki hukumnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut ;
    1. dimaksudkan untuk kepentingan yang dibolehkan
      secara syar’I.
    2. ada kemanfaatan dan aspek bahaya (madlarrat) dalam penggunaan partikel emas telah hilang (tidak membahayakan).

FATWA MUI, STANDAR KEHALALAN PRODUK KOSMETIKA DAN PENGGUNAANNYA.

Ketentuan Umum :

  1. Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk membersihkan, menjaga, meningkatkan penampilan, merubah penampilan, digunakan dengan cara mengoles, menempel, memercik, atau menyemprot.
  2. Tahsiniyat adalah salah satu kebutuhan syar’i yang bersifat penyempurna (tertier), yang tidak sampai pada tingkat dlarurat ataupun hajat, yang jika tidak dipenuhi tidak akan mengancam eksistensi jiwa seseorang, serta tidak menimbulkan kecacatan.
  3. Penggunaan kosmetika ada yang berfungsi sebagai obat dan ada yang
    berfungsi sekedar pelengkap, ada yang masuk kategori haajiyyat dan ada yang masuk kategori tahsiniyyat.

Ketentuan Hukum :

  1. Penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat:
    1. bahan yang digunakan adalah halal dan suci;
    2. ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i; dan
    3. tidak membahayakan.
  2. Penggunaan kosmetika dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram hukumnya haram.
  3. Penggunaan kosmetika luar (tidak masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi dibolehkan dengan syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir syar’i).
  4. Penggunaan kosmetika yang semata-mata berfungsi tahsiniyyat, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk memanfaatkan kosmetika yang haram.
  5. Penggunaan kosmetika yang berfungsi sebagai obat memiliki ketentuan hukum sebagai obat, yang mengacu pada fatwa terkait penggunaan obatobatan.
  6. Produk kosmetika yang mengandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
  7. Produk kosmetika yang menggunakan bahan (bahan baku, bahan aktif, dan/atau bahan tambahan) dari turunan hewan halal (berupa lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara penyembelihannya hukumnya makruh tahrim, sehingga harus dihindari.
  8. Produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.
SISTEM JAMINAN PRODUK HALAL (SJPH)

TUJUAN

  1. Memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku dalam menentukan ruang lingkup atau proses bisnis pelaku usaha.
  2. Memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam melakukan analisis resiko titik kritis kehalalan sesuai dengan lingkup usaha.
  3. Memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam menyusun manual, prosedur, intruksi kerja penerapan SJPH dan kelengkapannya.

 

Siapa yang harus memiliki 3 tujuan di atas ?

  1. Penyelia Halal yang telah memiliki sertifikasi.
  2. Penyelia Halal bisa direkrut dari karyawan yang ditunjuk dan dipercaya oleh perusahaan untuk mengikuti pelatihan Penyelia Halal agar memiliki sertifikasi agar bisa menyusun, mempersiapkan dan mengimplementasikan SJPH.

 



1. MENENTUKAN RUANG LINGKUP ATAU PROSES BISNIS PELAKU USAHA

contoh kasus :

Rumah Batik Komar

  • Pengajuan – Sertifikasi Halal – Barang Gunaan – Kain Katun Batik Asli
  • Skala Usaha – KECIL – Perusahaan Dalam Negeri
  • Status Perusahaan – Perusahaan Perseorangan 
  • Kelengkapan Dokumen 
    • NIB ; NPWP ; HAK MERK ; SERTIFIKAT PENYELIA HALAL 

MEMBUAT CHECKLIST IDENTIFIKASI RUANG LINGKUP & PROSES BISNIS PELAKU USAHA

  • Penyelia Halal harus mampu mengidentifikasi seluruh persyaratan dan kelengkapan yang dibutuhkan dalam penyerapan SJPH di pelaku usaha.
  • identifikasi tersebut dibuat secara rinci dengan dilengkapi tindakan perbaikan seperti apa.


2. MELAKUKAN ANALISIS RISIKO TITIK KRITIS KEHALALAN SESUAI DENGAN LINGKUP USAHA.

contoh kasus :

Rumah Batik Komar

  • Campuran malam adakah mengandung minyak babi?
  • Alat kuas untuk mencolet, apakah bulu kuas menggunakan bulu babi?
  • Setelah memotong kain, kain disimpan dimana? Kena najis tidak?


MEMBUAT CHECKLIST ANALISA RESIKO TITIK KRITIS KEHALALAN SESUAI LINGKUP USAHA

  • Penyelia Halal harus mampu mengidentifikasi Titik Kritis Kehalalan
  • Identifikasi tersebut di atas, dibuat secara rinci dengan dilengkapi tindakan perbaikan.


3. MENYUSUN MANUAL, PROSEDUR, INSTRUKSI KERJA PENERAPAN SJPH DAN KELENGKAPANNYA.

  1. Penentuan Ruang Lingkup Dokumen ; Identifikasi produk, fasilitas, pabrik/lokasi produksi, SDM dan dokumen pendukungnya.
  2. Analisis Kesenjangan (Analisis GAP)
  3. Menentukan Format Manual SJPH.
  4. Pembuatan Manual dan Lampirannya ; pastikan bahwa Kriteria SJPH telah dipenuhi.
  5. Implementasikan Manual Yang Telah Dibuat, 
    1. Periksa Performa dari setiap kebijakan / SOP yang telah tertuang dalam Manual, apakah efektif atau tidak.
    2. Lakukan Perekaman Aktivitas.
    3. Lakukan Audit Internal.
  6. Verifikasi Kembali Dokumen Manual ; beserta lampiran yang telah dibuat.
  7. Sosialisasikan Manual dan Prosedur SJPH yang telah dibuat.

MEMBUAT CHECKLIST ANALISIS KESENJANGAN (GAP ANALITIC) 




MANUAL SJPH

  • adalah dokumen yang menggambarkan rencana / cara perusahaan untuk memenuhi kriteria SJPH sesuai dengan ruang lingkup perusahaan.
  • digunakan sebagai acuan / panduan pelaksanaan SJPH di perusahaan dan juga untuk penyusunan dokumen SJPH.
  • perusahaan yang mengajukan Sertifikasi Halal, harus membuat manual SJPH yang terpisah dari manual sistem yang lain.
  • dapat dibuat berdasarkan hasil GAP analisis SJPH dan rencana penerapan SJPH.
  • teknik penulisan manual SJPH dapat menggunakan format bebas maupun format template.

ISI MANUAL SJPH

  • Cover – Halaman Pengesahan 
    • pada umumnya berisikan pernyataan komitmen dalam menerapkan SJPH.
    • pengesahan melalui penandatanganan oleh Pimpinan Perusahaan.
  • Informasi Umum Perusahaan.
    • berisikan informasi umum seperti nama perusahaan ; NIB ; Alamat ; E-mail ; Contact Person ; dll
    • berisikan informasi khusus perusahaan seperti ; Jenis Produk ; Ijin Khusus ; dll
  • Kriteria SJPH
    • terdapat 5 kriteria utama : 
      1. Komitmen dan Tanggung Jawab
      2. Bahan 
      3. Proses Produk Halal
      4. Produk
      5. Pemantauan dan Evaluasi
    • agar lebih mudah dalam penulisan kebijakan dan prosedur perusahaan, sebaiknya dirunut seperti berikut :

  • Lampiran
    • pada umumnya informasi tambahan dalam bentuk dokumentasi dan lampiran pendukung


A. KOMITMEN DAN TANGGUNG JAWAB

  1. Kebijakan Halal

 

    • mensosialisasikan Kebijakan Halal kepada semua pihak yang terkait, untuk memastikan semua personel menjaga integritas halal di perusahaan. sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai macam media komunikasi baik secara audio,visual maupun audio visual seperti rapat, e-mail, medsos, poster, banner, surat, dll.
    • perusahaan menyimpan dan memelihata catatan / rekaman bukti hasil sosialisasi Kebijakan Halal kepada semua pihak yang terkait, antara lain dapat berupa Notulensi Rapat, Daftar hadir rapat, foto kegiatan, materi rapat, email, screen shoot medsos – whatsapp, surat, dll)
    • menempelkan poster kebijakan halal dan edukasi halal di kantor, area produksi dan gudang.
  1. Tanggung Jawab Managemen Puncak

 

    1. dibuatkannya Surat Keputusan Penetapan Tim Manajemen Halal dan Penyelia Halal berfungsi untuk memastikan berjalannya penerapan SJPH secara konsisten sebagai bentuk komitmen Kebijakan Halal.
    2. Tugas dan Tanggung Jawab Tim  Management Halal dan Penyelia Halal adalah sebagai berikut :
      • TUGAS :
        • Mengawasi PPH (Proses Produk Halal) di perusahaan.
        • Menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan.
        • Mengordinasikan PPH
        • mendampingi Auditor Halal Eksternal pada saat pemeriksaan.
      • TANGGUNG JAWAB :
        • Menerapkan SJPH dan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan terkiat JPH.
        • Menyusun rencana PPH.
        • Menerapkan management resiko pengendalian PPH.
        • Mengusulkan penggantian bahan.
        • Mengusulkan pengentian produksi yang tidak memenuhi ketentuan PPH.
        • Membuat laporan pelaksanaan dan pengawasan PPH.
        • Melakukan Kaji Ulang Pelaksanaan PPH.
        • Menyiapkan bahan dan sampel pemeriksaan untuk auditor halal.
        • Menunjukkan bukti dan memberikan keterangan yang benar selama proses pemeriksaan oleh audiotor halal.
    3. Pelatihan Internal ; Melakukan pembinaan melalui pelatihan/kompetensi di bidang Halal yang diijinkan dan diajukan oleh pemilik usaha kepada lembaga yang menyelengarakan . kegiatan ini pun di dokumentasikan, berikut undangan pelatihan, materi pelatihan, notulen pelatihan, daftar hadir pelatihan, sebagai bukti pelaksanaan selama masa berlaku sertifikat halal.
    4. Pelatihan Internal setidaknya 1 tahun 1 kali dilakukan, terlebih untuk karyawan baru sebelum memulai bekerja.
  1. kjblkb
PERTANYAAN DARI KARYAWAN
  • Menjemur kain yang diwarna indigosol dilantai, dibawah, dibebatuan dll, apakah halal ?
  • Software bajakan halal tidak ?
  • konten halal seperti apa?
  • Ngedisain halal tau haramnya bagaimana? jangan binatang utuh, terlebih anjing dan babi ga boleh digambar.
  • untuk canting cap halal / haram bagaimana? apa yang harus dilakukan.